Perjalanan Panjang

9.5K 413 2
                                    

"Ibuku di Praha" ujarku.

"Ha? Kau bilang ibumu sudah meninggal?" Ujar San. Lelaki berambut pirang brekele sebahu. Matanya choklat keemasan.

"Itu hanya kamuflase" jawabku enteng. "Aku pun tak tahu dia masih hidup atau sudah mati".

Aku menarik napas panjang. Kereta berjalan semalaman. Aku tertidur dipundak sam. Disepertiga malam. Aku terbangun dari tidurku, kubuka buku harian ayah yang kulanjutkan dengan tulisan tulisan tanganku. Disana tertera alamat rumah paman zyan.

Aku menutup buku itu lagi. Mengurungkan niat untuk menrmui ibu. Toh ibu sudah bahagia disana, dia pasti akan terbebani jika aku mengganggu kehidupannya. Mengingat bagaiamana hubunganku yang tidak begitu harmonis dengan paman zyan saat terakhir kita bertemu.

Malam itu memang hujan mengguyur rintik rintik. Embun menghiasi jendela kaca. Aku merindukan dekapan seorang ayah. Tak lama aku tertidur kembali di pundak sababatku Sam.

"Vannessa bangun" bangun sam aku masih menutup badanku dengan selumut tebal.

Aku membuka selimut. Melihat orang orang yang mengantri untuk keluar. Koperku sudah siap untuk diajak keluar. Aku mengangguk. Lalu lekas bangun.

Stasiun praha, dijam 9. Sangat ramai dengan orang orang yang berlalu lalang. Para bangsawan terhormat dengan sepuluh atau dua puluh pelayannya menenpati dua gerbong. Rakyat jelata yang kumuh menduduki satu gerbong saja. Pemandangan yang agak absurd memang.

Aku tidak pernah ke praha. Namun kurasa jam besar itu baru dipasang. Terlihat wallpaper jamnya masih putih bersih dan jarumnya belum berkarat.

"Kupikir kira harus mencari tempat tinggal" ujar Sam. Aku mengangguk setuju. Aku dan Dan segera melesat ke jalanan Praha. Bangunan modern menghiasi kota ini, tidak kalah modern memang dari Vienna. Bedanya wanita wanita praha lebih banyak menutup dirinya dengan gaun gaun indah, mungkin karena banyaknya katredal disini. Berbeda dengan Vienna yang lebih menyukai gaun berbelah dada rendah.

"Aku pikir disini murah" ujar Sam. "30 emas per bulan".

Aku ikut saja. Diruangan itu tidak ada kasur, tapi Sam mengakalinya dengan menaruh kain untuk tidur. Lalu dapur kecil. Dan kamar mandi kotor. Tidak ada yang istimewa.

Hari pertama datang di Praha. Kami segera mencari pekerjaan. Kalau aku tidak bingung, dari Vienna aku sudah membawa perlengkapan semir sepatu. Sedangkan Sam dia berpikir untuk mencari pekerjaan di ladang, dia memiliki kemampuan yang bagus untuk berladang. Dia mungkin akan mencari tuan tanah hari ini.

Aku segera turun ke jalan. Mengumpulkan uang uang receh dari menyemir sepatu. Hingga tak terasa malam telah tiba. Aku pulang, kerumah. Disana Sam belum pulang. Aku tidak mau menunggunya, aku memilih tidur. Karena badanku memang sudah sakit semua.

Pagi datang menyapa. Masih belum tampak keberadaan Sam. Aku mulai panik, semalaman dia tidak pulang. Kemana dia?

Aku ingin mencarinya, baiklah aku akan mencarinya sambil menyemir sepatu dijalan. Perutku sudah kerucukan, sedari kemarin aku belum makan.

Aku tidak yakin hari apa ini. Namun disebuah katredal yang tak jauh dari rumahku ada banyak orang mengantri. Aku bertanya pada seseorang di barisan belakang.

"Ada apa ini?" Tanyaku.

"Tuan tanah pemilik hampir separuh tanah di Praha memberikan jatah makanan" ujarnya.

Makanan

Makanan

Tanpa berpikir panjang aku segera ikut mengantri. Lama menunggu hingga masuk tengah hari. Akhirnya giliranku mendapatkan makanan.

A Perfect Sin (complete)Where stories live. Discover now