Dimana Janji Kamu?

55 1 0
                                    

Aku berdiri di depan kantin. Mataku menyapu seluruh penjuru kantin. Tak lama kemudian aku menemukan sosok yang kucari. Kyno. Aku melihat dia sedang duduk dengan seorang perempuan. Entahlah aku tidak mengenalnya. Aku mencoba mendekatinya. Dan tiba tiba hatiku terasa tersayat saat melihat perempuan tersebut adalah...Varas. aku tidak mempedulikan sekitar. Aku berlari sekencang mungkin untuk menjauh dari mereka. Hatiku berasa sakit bila harus melihatnya. Saat aku mulai berlari aku mendengar suara lembutnya memanggilku. Tapi aku tak peduli. Aku terus berlari kedepan tanpa menoleh sedikitpun kebelakang. Mana janji lo Kyn?

Apakah dia mengejarku? Tapi mengapa aku tidak merasa kehadiran dia di belakangku. Aku menoleh ke belakang. Dan belum sempat aku membalikan badan dia langsung menarikku ke depan dadanya.

" Kyno." Sahutku pelan.

"Gak usah nangis." Ucapnya datar. Aku melihat tangannya datang ke arah wajahku. Takku sangka tangan lembutnya mengusap air mataku.

" Tapi, Varas.." Kata-kataku sempat terputus. Belum sempat aku melanjutkannya dia langsung menarik tanganku. Dia membawaku lari. Aku sudah mencoba melepaskannya, tapi apa daya tenagaku terlalu lemah untuk itu. Cernyata tempat tujuannya adalah rooftop.

" Kita ngapain ke sini?" Tanyaku.

" Biar lo bisa berdua sama gue. Dan lo bisa percaya kalo gue cuman sayang sama lo. Tanpa yang lain. Disini cuman ada kita berduakan, tanpa dia, mereka, ataupun orang ke tiga. Lo gak usah khawatir." Jawabnya. Pertanyaan yang tadi mau aku lontarkan padanya, kini sudah di jawab olehnya tanpa harus aku tanya.

Aku hanya bisa tersenyum tipis saat mendengarnya. Aku melihat tangannya kini mendekat ke arah ku. Dia merangkulku. Sekarang aku benar-benar merasa ' cinta itu ada '. Tuhan memang maha adil.

" Gue suka bingung sama lo.." Ucapku.

" Bingung kenapa? Karena gue kegantengan yah?" Mungkin kalian bakal bilang dia ke-pdan. Tapi dia memang ganteng maksimal.

" Ish, bukan itu." Jawabku dengan cemberut.

" Terus apa?" Tanyanya kembali.

" Lo itu suka anget banget kaya air mendidih. Eh tapi besoknya lo bisa lebih dingin dari es." Jawabku sedikit melirik ke arahnya. Dia tertawa kecil.

" Lo mau tau alesannya?" tanyanya datar.

" Iyalah, makanya gue tanya. Kalau gak ngapain di tanya coba.." Jawabku kesal.

" Maaf. Tapi itu gue. Gue mohon lo jangan pernah ngebandingin gue sama yang lain. Biarkan gue mencintai lo dengan cara gue sendiri ya, Kay." Jawabnya. Dia menatapku dengan lekat-lekat. Aku seperti masuk ke dalam hidupnya. Aku tak bisa jawab apa-apa. Aku hanya bisa mematung melihatnya. Tapi aku sangat menikmati saat itu.

" Iya."

***

" Kyno." Sahut perempuan itu dari kejauhan. Perempuan itu mengejarnya. Kyno merasa malas mendengarnya. Ia takut Kayna cemburu atau semacamnya. Lalu Kyno dengan sengaja menggenggam tangan Kayna yang sedari tadi ada di sebelahnya. Kayna menengok ke belakang. Dia melihat sosok Varas yang sedang berlari kecil.

" Kyn, itu Varas." Ucapku sambil menunjuknya.

" Anggep aja gak ada." Jawabnya dengan datar.

Tiba-tiba Varas meraih lengan Kyno, memisahkan genggaman 'mereka'.

" Apaan sih lo?" Tanyanya tegas.

" Kamu kenapa ninggalin aku tadi?" Tanya Varas kembali. Namun, Kyno tidak menjawabnya. Dia malah kembali menggenggam tangan Kayna dan mengangkatnya. Varas yang mengerti langsung naik darah.

" Kalian...?" Tanya Varas. Dia tidak bisa melanjutkan kata katanya lagi.

" Iya. Jadi sekarang gue minta lo jauh-jauh dari gue!" Tegasnya. Aku hanya bisa diam melihat mereka berdua berkelahi. Entahlah, tubuhku kaku dan bibirku tiba-tiba menjadi bisu.

" Gak bisa, Kyn. Gue sayang sama lo." Jawabnya dengan mata sendunya yang di campur kekesalan.

" Sorry, gue gak ngurus." Kyno pun berbalik badan dan meninggalkan Varas yang sudah di sakitinya. Dia mengeratkan genggaman mereka. Sampai Kayna bingung sebenernya kemana tujuan mereka. Setiap meleka melangkah pasti semua murid bebisik-bisik. Entah karena kita pacaran atau karena mereka iri.

" Kita mau kemana?" tanyaku lugu.

" Ke kelas lo lah." Ucapnya. Lalu dia melepas genggaman tersebut.

" Oh." Jawabku yang kebingungan dengan sikapnya. Lagi-lagi dia kembali dingin. Huh, menyebalkan.

Kita sudah sampai di depan pintu kelas. Tapi entah kenapa tubuhku masih kaku. Sampai-sampai aku lupa bahwa aku seharusnya masuk ke dalam ruangan ini.

" Mau nyampe kapan gue nunggu lo masuk?" Pertanyaan itu membuat pipiku memerah. Aku sangat malu.

" Perlu gue anterin nyampe kursi lo?" Tanyanya sambil tersenyum tipis.

" Eh, gak usah. Aku bisa sendiri. Yaudah, aku masuk ya." Pipiku makin memerah. Semua anak kelas melihat ke arah kami. Termasuk Laurent.

" Yaudah nanti pulang bareng gue ya. Gue balik dulu." Ucapnya.

" Ok." Jawabku sambil tersenyum. Lagi-lagi aku hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh.

" Cie, Kyno." Teriak anak kelas.

***

Aku dan dia bagaikan magnet. Iya, magnet. Jika magnet ingin tertarik dengan magnet lainnya harus dengan kutub yang berbeda bukan? Begitulah diriku dengan dia. Berbeda namun bersatu dengan erat. Akulah penghangatnya. Aku adalah 'api' baginya. Dia adalah yang dingin, yang menyelimuti hatiku dengan 'kastil esnya'.

Pada malam itu semua berubah, yang tadinya di anggap angin sekarang di anggap yang paling berharga, yang tadinya tidak peduli menjadi menganggapku sangat berarti, yang tadinya sedingin es menjadi sehangat api.

***

Butiran Es dan Percikan ApiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt